Triclosan dan triclocarban merupakan dua antiseptik yang mendapat peringatan terhadap potensi bahayanya. FDA pada tahun 2017 mengeluarkan peraturan mengenai bahaya dari sabun antiseptik terhadap kesehatan tubuh, juga terhadap kesehatan lingkungan. 2 zat aktif yang mendapat sorotan karena potensi bahayanya adalah triclosan dan triclocarban.
Triclosan dan triclocarban tidak ditemukan manfaatnya sebagai antiseptik yang efektif. Selain itu, penggunaannya sebagai produk rumah tangga diasosiasikan dengan peningkatan risiko atopi atau alergi pada anak. Dokter sebaiknya mengedukasi masyarakat untuk menghindari produk rumah tangga yang mengandung kedua zat tersebut.
Pernyataan FDA mengenai Kandungan Zat Aktif pada Sabun Antiseptik
FDA menyebutkan 19 zat aktif yang terkandung pada sabun antiseptik yang digunakan sehari-hari.
Zat Aktif pada Obat Antiseptik yang Dikhawatirkan oleh FDA
19 zat aktif yang terkandung dalam obat antiseptik dan menjadi kekhawatiran adalah:
- Cloflucarban
- Fluorasalan
- Hexachlorophene
- Hexylresrorinol
- Kompleks iodine (ammonium ether sulfate dan polyoxyethylene sorbitan monolaurate)
- Kompleks iodine (phosphate ester of alkylaryloxy polyethylene glycol)
- Nonylphenoxypoly (ethyleneoxy) ethanol iodine
- Kompleks poloxamer-iodine
- Povidone-iodine 5-10%
- Kompleks undecoylium chloride iodine
- Methylbenzethonium chloride
- Phenol dengan konsentrasi <1.5%
- Phenol dengan konsentrasi >1.5%
- Secondary amyltricresols
- Sodium oxychlorosene
- Tribromsalan
- Triclocarban
- Triclosan
- Triple dye[1]
FDA menilai sabun dengan kandungan 19 zat aktif tersebut sebagai salah kategori dan tidak seharusnya digunakan untuk penggunaan sehari-hari. Hal ini dikarenakan sabun dengan zat-zat aktif tersebut memang umum digunakan untuk menjaga kebersihan tangan tenaga kesehatan di rumah sakit, digunakan pada pasien yang sedang melakukan persiapan preoperatif dan digunakan untuk surgical hand scrub. Tenaga medis dan pasien memang lebih rentan terhadap bakteri dan paparan akan sabun antiseptik ini tidak sesering penggunaan sabun antiseptik yang bisa digunakan konsumen di rumah. Hal ini yang menimbulkan kekhawatiran akan potensi bahaya penggunaan zat-zat ini secara rutin jika digunakan sehari-hari.[1]
FDA menilai efektivitas sebuah zat (generally recognized as effective / GRAE) dengan membandingkan benefit-to-risk dari zat tersebut. Zat aktif dinilai apakah dapat memberi keuntungan secara klinis yang lebih besar dibanding efek samping buruk yang bisa didapat, seperti efek karsinogenik atau toksisitas reproduksi. Selain itu, efektivitas zat juga dinilai dari membandingkan keuntungan klinis yang menonjol dari sabun antiseptik ini dalam membunuh bakteri dibanding sabun nonantibakterial. Dikarenakan belum terkumpulnya cukup data yang dapat menilai keuntungan klinis yang signifikan dari sabun antiseptik dibandingkan sabun nonantimikrobial, penggunaan sabun antiseptik masih belum tergolong GRAE. [1,2]
Dalam menilai keamanan, FDA juga melihat bahwa beberapa zat aktif yang terkandung memberikan paparan secara sistemik yang lebih tinggi dibandingkan dugaan, hal ini dikhawatirkan bahwa paparan secara jangka panjang akan beberapa zat ini dapat memberikan efek resistensi bakteri. Hal ini menyebabkan, diperlukannya data tambahan yang mendukung keamanan dari zat aktif ini untuk menggolongkan sabun antiseptik aman (generally recognized as safe/GRAS).[1,2]
Dari 19 zat yang terkandung ini, ada dua zat aktif yang terus dibicarakan dikarenakan penggunaannya yang semakin meningkat setiap tahunnya, padahal efek samping buruk dari zat ini terus ditemukan. Kedua zat ini adalah triclosan dan triclocarban.[1,2]
Triclosan dan Triclocarban
Sejak diperkenalkan pada tahun 1957 dan 1964, penggunaan triclocarban (TCC) dan triclosan (TCS) sebagai zat aktif antimikrobial terus meningkat. Kedua zat ini bisa ditemukan penggunaannya pada sabun, detergen, pakaian, karpet, lukisan, plastik, mainan, alat tulis sekolah dan bahkan dot bayi. Bahkan, sebuah studi pada tahun 2014 juga mengatakan bahwa pada tahun 1999/2000, penggunaan TCS dan TCC sudah mencapai 75% pada sabun cair serta 29% pada sabun batang, dan terus meningkat hingga saat ini. Hal ini dikarenakan peraturan akan pembatasan kedua zat ini masih sangat renggang. Di samping itu, pengetahuan masyarakat akan potensi bahaya penggunaan kedua zat aktif ini sangat rendah. [2,3]
Bukan saja bahaya akan kesehatan, kontaminasi akan lingkungan dari kedua zat ini juga sangat tinggi. Pada tahun 2012, United States Geological Survey (USGS) melaporkan bahwa TCS adalah salah satu dari 10 besar zat yang mengkontaminasi sungai di Amerika. Kedua zat ini juga sangat sulit untuk didegradasi.[3]
Konsensus Florence Statement on Triclosan and Triclocarban
The Florence Statement on Triclosan and Triclocarban mendokumentasikan konsensus dari 200 ilmuan dan profesional kesehatan akan bahaya dan kurangnya bukti dari keuntungan klinis dari penggunaan triclosan (TCS) dan triclocarban (TCC) secara rutin. Aspek bahaya ini dipisahkan menjadi isu medis dan lingkungan.[4] Beberapa isu medis yang menjadi isu konsensus ini adalah sebagai berikut:
Tidak Adanya Bukti yang Kuat akan Manfaat Triclosan dan Triclocarban
Penggunaan triclosan dan triclocarban hingga saat ini bisa ditemukan pada lebih pada 2000 konsumen dan di dalam produk bangunan. Pada tahun 2006, penggunaan triclosan saja sudah mencapai 450 ton di Eropa dan 85% dari jumlah ini diestimasi digunakan untuk produk kosmetik dan personal care (deterjen, tempat makan, odol, obat kumur, deodoran, sabun, mainan anak dan pakaian). Dari seluruh penggunaan ini, sabun batang memiliki tingkat paparan yang cukup tinggi, sekitar 0.5% hingga 2% dari jumlah total. [4,5]
Padahal pada tahun 2003, Centers for Disease Control and Prevention Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee (CDC) menyatakan tidak ada bukti yang cukup menunjukan fungsi zat ini dalam meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit konsumen. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya waktu paparan dari zat ini untuk memberi efek keuntungan (kurang lebih 6 detik yang diperlukan saat mencuci tangan). Selain itu, zat ini juga terdilusi saat mencuci tangan dengan air. [4]
Limbah Triclosan dan Triclocarban bersifat Toksik dan Karsinogenik
Limbah Triclosan yang ditemukan pada air jika terpapar dengan sinar matahari akan mengalami pembakaran sehingga terjadi perubahan molekul menjadi 2,8-dibenzodichloro-p-dioxin (2,8-DCDD). Hasil pembakaran triclosan ini diketahui bersifat toksik dan karsinogenik. Selain itu, triclosan juga dapat bereaksi dengan chlorine di dalam air untuk mementuk chloroform, yang juga bersifat toksik dan karsinogenik. Triclocarban akan terdegradasi secara aerobik dan photolysis menjadi 4-chloroaniline dan 3,4-dichloroaniline, zat yang juga dipercaya akan menyebabkan kanker.
Paparan Zat Aktif Triclosan dan Triclocarban
Triclosan dan triclocarban dapat menembus plasenta dan diekskresikan melalui ASI. Hal ini terbukti dari terdeteksinya kandungan triclosan dan triclocarban pada pemeriksaan plasenta bayi saat hamil. Paparan sejak masa prenatal ini terus berlanjut hingga dewasa.
Beberapa studi menilai kandungan urin manusia untuk melihat kandungan zat triclosan dan triclocarban yang diekskresi oleh tubuh manusia. Sebuah studi di Cina pada tahun 2016 yang dilakukan pada 209 orang dewasa memberikan hasil bahwa TCC terdeteksi hingga 99% di sampel urin peserta. [4] Sampel urin yang didapat dari orang dewasa dan anak-anak secara nasional di Amerika, menunjukkan bahwa 76% dari populasi mengekskresi zat triclosan yang menunjukkan tingginya paparan akan kedua zat ini.[2]
Potensi Bahaya dari Paparan Triclosan dan Triclocarban
Pada sebuah studi tahun 2009 dengan tikus, paparan triclosan terbukti mempunyai asosiasi terhadap turunnya kadar hormon testosteron, luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (LSH), dan produksi sperma. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan akan paparan triclosan terhadap peningkatan kegagalan implantasi dan aborsi. Selain itu, studi lain pada tahun 2016 juga melakukan intervensi pada tikus yang hamil dan diberikan paparan triclosan. Hasil menunjukan turunnya kadar thyroxine baik pada maternal, fetal dan neonatal. Padahal sedikit saja turunnya kadar tiroksin pada ibu hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan otak fetus. Hal ini meningkatkan kekhawatiran para ilmuwan, sehingga studi pada sistem endokrin dan reproduksi manusia perlu dilakukan lebih lanjut.[4]
Potensi bahaya lainnya adalah peningkatan risiko penyakit alergi pada pasien. Sebuah studi cross-sectional di Korea pada tahun 2014 dilakukan pada 25.805 sampel anak-anak. Orang tua atau wali anak diberikan kuisioner akan frekuensi penggunaan produk antimikrobial selama sehari-hari. Peneliti kemudian melihat prevalensi timbulnya asthma, rhinitis alergi, dan dermatitis atopik anak selama 12 bulan terakhir. Hasil menunjukan adanya peningkatan gejala alergi atau atopi pada anak yang menggunakan produk antimikrobial sehari-hari. Selain itu, hasil juga menunjukan adanya dose-dependent dari frekuensi penggunaan antiseptik dengan frekuensi timbulnya gejala alergi.[5]
Kekurangan dari penelitian ini adalah kemungkinannya adanya bias misklasifikasi dikarenakan tidak semua kandungan yang mempunyai kandungan triclosan tertulis antiseptik, antimikrobial atau antibakteri. Selain itu, karena desain studi potong lintang, asosiasi reverse causality masih bisa terjadi. Studi ini tidak bisa menentukan apakah paparan produk antiseptik yang menyebabkan meningkatnya frekuensi gejala alergi, atau apakah anak-anak dengan resiko alergi menyebabkan orang tua memberikan penggunaan produk rumah tangga yang mengandung antiseptik lebih sering.[5]
Namun, hipotesis ini bisa dijelaskan oleh efek penggunaan antiseptik yang menyebabkan seluruh mikroorganisme pada tubuh mati. Padahal beberapa mikroorganisme tetap diperlukan sebagai stimulasi T helper 1 (TH1) dan T helper 2 (TH2). Stimulasi TH1 dan TH2 mempunyai peran penting dalam maturasi sistem imun tubuh. [4,5]
Potensi Resistensi Antibiotik akibat Penggunaan secara Terus-menerus
The Florence Statement mengumpulkan hasil beberapa studi yang menunjukan bahwa paparan triclosan secara terus menerus dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotik. Hal ini sudah menjadi kekhawatiran sejak tahun 2001, namun studi dengan durasi lebih lama perlu dilakukan di manusia untuk melihat efek triclosan terhadap resistensi antibiotik. [2,4]
Kesimpulan
FDA telah mengeluarkan peraturan bahwa 19 zat aktif yang terkandung pada sabun tangan dan sabun mandi antiseptik secara umum tidak tergolong aman dan efektif, serta salah penggolongan (not GREA/GRES and misbrand). Dari 19 zat aktif ini, 2 zat aktif yaitu triclosan (TCS) dan triclocarban (TCC) yang paling menjadi perhatian dan ditemukan memiliki potensi bahaya. Bahkan 200 ilmuwan dan profesional medis membuat konsensus yang meneliti bahaya dari TCC dan TCS dalam The Florence Statement on Triclosan and Triclocarban.
Potensi bahaya dari kedua zat ini di antaranya adalah risiko peningkatan resistensi antibiotik, gangguan fertilitas, serta peningkatan risiko penyakit alergi. Dampak buruk TCS dan TCC ini memang masih belum sepenuhnya dibuktikan secara ilmiah. Walau demikian, dokter sebaiknya mengambil langkah pencegahan dengan mengedukasi masyarakat untuk menghindari sabun yang mengandung kedua zat aktif tersebut.
Sumber : https://www.alomedika.com/bahaya-kandungan-triclosan-dan-triclocarban-pada-sabun-antiseptik